Kamis, 18 Oktober 2018

Bangga Pakai Batik Pekalongan


     Batik merupakan salah satu warisan budaya yang selalu jaya, dipakai oleh siapa saja selalu menampilkan gayanya. Pesona Batik Peranakan yang terus berkembang seiring perubahan jaman membuat batik semakin apik dengan beragamnya akulturasi budaya yang menarik. Batik mampu membaur dengan berbagai macam budaya yang mana memiliki ciri khas yang berbeda-beda. Tak dipungkiri lagi, kini peranakan batik yang antik sudah beranakpinak,  menetap, yang membuat batik semakin mantap. 
Batik itu unik, mengubah pemakainya terlihat nyentrik, bahkan membuat yang lain melirik hingga akhirnya tertarik untuk mengenakan batik yang terbilang eksotik. Sudah sepatutnya kita bangga dengan beragamnya batik yang kian mengudara disetiap era mampu mencerminkan jati diri bangsa. Tak terhitung banyaknya karya yang selalu mengangkat batik sebagai latar belakangnya, batik tetap milik kita, teruntuk warga Pekalongan, dan rakyat Indonesia. Aku selalu bangga pakai batik disetiap acara. 
@kemkominfo
@kemenkominfo 
@djikp 
@rnikenwidiastuti 
#BatikPekalongan 
#FlashBlogging 
#FlashBloggingPekalongan 
#BanggaPakaiBatik

Senin, 11 Juni 2018

Hari-hariku tanpa cinta

Setiap pagi rasanya biasa saja, tak ada yang istimewa. Aku selalu disuguhkan oleh perasaan-perasaan gundah yang kucipta sendiri, perasaan-perasaan yang timbul akibat konspirasi antara hati dan logika. Belum usai penatku luruh akibat tugas kuliah yang rasanya semakin tua semester yang ku tempuh maka semakin menumpuk bak sampah yang dihasilkan setiap individu yang kemudian membuangnya sembarangan hingga berserekan di jalanan bahkan sampai selokan, menjadi sebab salah satu pemicu banjir yang sulit teratasi, lalu dipungut oleh pengepul sampah untuk kemudian dibawa hingga terkumpul dibukit sampah dekat pantai disalah satu tempat yang ada di Pekalongan. Pikiranku keluh oleh banyaknya pemikiran-pemikiran yang membunuh tiap hela nafas segar yang kuhirup di tiap pagi ku membuka mata. Tentang laporan kerja praktikku yang tak kunjung kelar, revisiannya yang buatku malas untuk merampungkannya, padahal dosen pembimbing terang-terangan memberiku peluang untuk tak perlu memikirkannya terlalu dalam, beliau memberiku pilihan untuk acc langsung ketika kemarin aku dan temanku (partner karena kami kerja praktik ditempat yang sama) bimbingan atau memperbaiki dahulu laporanku dengan benar lalu dilain waktu untuk kembali bimbingan beliau akan meng-acc nya. Spontan kuminta untuk kami perbaiki terlebih dahulu laporan kerja praktik kami lalu segera setelahnya beliau bisa acc. Derita semester tua, mungkin begitulah kiranya pemikiran -pemikiran yang buatku gelisah beberapa waktu ini. Segera setelah laporan kerja praktik ini selesai, maka aku akan dicekoki oleh serangkaian kegiatan yang berat untuk kujalani. Proposal untuk pengajuan skripsi, dan skripsi itu sendiri. Allah, aku saja masih belum paham bagaimana membuat sebuah program, jangankan program kompleks untuk skripsiku nanti, program sederhana pun rasanya aku tak mampu untuk membuatnya, lalu bagaimana dengan skripsiku nanti? Inilah pemikiran-pemikiran yang terus menggangguku, mengusir ketentraman otakku. Entah bagaimana nanti kuhadapi proposal pengajuan skripsi sedang judul untuk skripsinya saja aku tak tahu. Entah bagaimana nanti kuhadapi skripsi sedang membuat program saja aku tak mampu.

Aku sedang berbaring dikamarku, tempat dimana aku tidur yang mana terdapat dua buah boneka, ada satu boneka yang kuberi nama Alina pemberian mantanku dihari ulangtahunku yang ke-17 atau ke-18 aku lupa, dan satunya lagi Siena pemberian sahabatku sebagai kado ulangtahunku ke-20 kemarin ketika aku liburan di kota perantauannya di Semarang. Ada beberapa boneka lagi sebenarnya, tetapi tak kubawa pindah kesini. Membaca ini tentu kalian paham bahwa aku menyukai boneka. Tentu saja. Selain berbaring, aku sembari membaca novel kepunyaan temanku. "KALA" judul novel yang tengah kubaca. Novel ini berkisah tentang sepasang luka yang saling melupa, Lara adalah salah seorang pemain dalam novel ini. Lara seorang penulis, beberapa tulisannya dimuat dalam novel ini. Aku seperti dibuat kagum akan kelihaiannya dalam mendeskripsikan segala rasa yang tercipta. Kini aku tenggelam, hanyut dalam setiap rentetan aksara yang mengingatkanku kembali akan kejadian waktu itu. Kejadian yang mana memaksaku untuk memilih antara bertahan atau melepaskan. Terimakasih, Lara.

Belum sempat usai kuhabiskan cerita yang ada dalam novel itu, otakku kembali dibuat penat oleh pemikiran -pemikiran yang buatku kelu. Beberapa diantaranya terkait cinta. Macam mana pula aku ini, seharusnya tak pantas aku memikirkannya karena untuk pemikiran-pemikiran tentang skripsi saja aku sudah kuwalahan, ditambah ini. Apa sebenarnya yang kau mau! Sebenarnya mudah saja bagiku untuk mendapatkan pasangan, jika kumau detik ini pun aku bisa. Terlampau banyak laki-laki yang sedang berusaha mendekatiku, bahkan diantara mereka ada yang terang-terangan menyatakan rasanya padaku, namun ku tolak begitu saja. Perihal cinta menurutku sejatinya adalah rasa dimana dengannya kau ingin selalu bersama bukan? Karena pada akhirnya kalian akan selalu berada berdampingan dengannya dalam suka maupun duka hingga menua dan kemudian kembali menghadap Sang Ilahi. Mereka yang tengah mendekatiku tak satupun dari mereka yang mampu mendobrak paksa pintu yang sudah hampir 2 tahun tertutup rapat, aku memang sengaja menutupnya, aku hanya ingin beristirahat dari sandiwaranya, sandirawa cinta. Tak ada dari mereka yang mampu meluluhkan hatiku, tak ada dari mereka yang aku suka, tak ada dari mereka yang aku mau. Meski banyak kebahagian yang sanggup mereka suguhkan, aku tak sedikit pun tergugah untuk membuka pintu itu.

Ada seorang lelaki yang kini dengannya aku jatuh hati, entah bagaimana bisa aku menyukainya. Dari sekian banyak lelaki, padanya lah cintaku tertambat. Hingga tak mampu ku pungkiri aku begitu menginginkannya, aku begitu ingin menjadi seseorang yang dia mau padahal mungkin dia tak niatan untuk menaruh hati, dia hanya bersimpati. Aku mengenalnya karena dia satu kelas dengan Egna. Egna adalah lelaki yang padakulah ia menjatuhkan hati. Saat pendekatan dengan Egna, aku sedang berusaha untuk move on dari lelaki yang memberiku kado boneka yang kemudian kuberi nama Alina. Aku dengan lelaki itu menjalani hubungan selama 3 tahun kurang 2 bulan, atau selama 34 bulan. Egna begitu menyukaiku, tak ku pungkiri dirinya begitu menginginkanku, namun aku belum mampu move on dari lelaki itu hingga akhirnya aku memilih untuk kembali bersama lelaki itu, meninggalkan Egna. Dia pernah membenciku saat dulu aku memilih untuk meninggalkannya. Satu setengah tahun lebih berlalu, namun hubunganku dengan Egna masih baik selayaknya kami berteman dengan sangat baik. Dia sempat berkomen pada insta storyku :

Bahwa sesungguhnya aku tidak terima atas segala bahagiamu, karena aku selalu yakin aku yang paling bisa membahagiakanmu. Namun terlambat, padanya cintamu telah tertambat. Kau tak pernah memberikan kesempatan, menjadikanku teman cerita sudah cukup membuatmu nyaman. Sedetik saja sungguh ingin aku memilikimu, walau tak selamanya, paling tidak bisa mewarnai setiap cerita. Karena kini tentangmu hanyalah perih, dan penyesalan yang terucap lirih.

Aku memang bersalah pada waktu itu, bisa dipastikan aku memilih cara yang salah karena pada akhirnya pun aku dan lelaki itu akhirnya berpisah untuk selamanya. Belum lama ini aku menuliskan sesuatu tentang Egna, sebuah puisi layaknya Dilan menuliskan puisi untuk Milea ketika ia merindukannya.
Egna 1

Jika kau belajar menyakiti dariku, maka aku belajar mencintai darimu.
Jika kau anggap aku racun, maka aku anggap kau madu. 
Jika kau ceritakan keburukan tentangku, maka ku ceritakan kebaikan tentangmu. 
Jika kau menyesal pernah mengenalku, maka aku bahagia pernah mengenalmu. 

Egna 2

Katakan, pantaskah aku mendapatkan bahagiaku? Mengapa begitu cepat kau berlalu sebelum sempat cintaku tertambat padamu? Jika kau pikir caraku salah pada waktu itu, mengapa tak kau bimbing aku pada cara yang benar untuk menujumu? 

Egna telah memiliki seorang tambatan hati, kurasa dia bahagia sekarang. Aku turut bahagia untuknya. 

Sudah lewat tengah hari dan lelaki yang kusuka itu tak kunjung memberiku kabar. Tadi pagi aku mengeluhkan kondisiku padanya, aku flu. Pukul 12.33 dia mengabariku, "sibuk aku dek, maaf ow" seperti itu pesan yang dia kirimkan untukku. Aku tertidur sedari tadi menunggu kabarnya, kubalas pesannya hampir pukul 2 siang segera setelah aku bangun. "iya mas", begitu kujawab. Sudah 3 hari dia berada di kampung halamannya. Dia selalu disibukkan olrh pekerjaan-pekerjaan yang ada disana. Tak jarang dia bermain dengan dua keponakan perempuannya hingga dengan susah payah dia menidurkan mereka. Ku tanya, "gimana bisa nidurin mereka berdua?". "Ku kasih hp, buka youtube. Sampe dijambak rambutku, dinaikin", katanya. Sebenarnya sudah lama aku mengenalnya, seperti yang tadi kubilang bahwa dia adalah teman Egna dimana aku dan Egna kenal sudah hampir 2 tahun semenjak aku putus dengan lelaki yang tak ingin kusebut namanya. Secara langsung pun aku mengenal dia hampir 2 tahun bukan? Namun pendekatan kami baru berkisar selama 3 bulan dimulai semenjak chatting via dm di instagram hingga akhirnya saling bertukar nomor whatsapp. Setelah itu kami menjadi semakin dekat, hingga sekarang. 

Pikiran-pikiranku selalu di iringi perasaan sendu yang menggebu. Aku menginginkan adanya cinta yang sejalan dengan hatiku, mampu memahami setiap asa yang menggelora, menuntunku menjadi pribadi yang baik. Aku selalu ingin dicintai oleh seseorang yang denganku ia tak ingin meninggalkanku. Tak ku pungkiri sejatinya aku tengah menanti. Menanti seseorang yang pasti yang akan datang dengan pasti. Tak ku pungkiri sesungguhnya aku tengah menunggu. Menunggu seseorang yang tepat yang akan datang disaat yang tepat. 

Minggu, 10 Juni 2018

Sebuah Penantian

Setiap orang akan selalu merasa lelah ketika sedang dalam sebuah penantian. Penantian yang entah akan membawa masing-masing individu ke mana. Selangkah lebih dekat dengan tujuan atau justru menjauhkan seseorang itu dari hal-hal yang dia anggap membahagiakan. Setiap kita adalah sebuah kepergian. Setiap kita adalah kehilangan. Kepergian dari kisah yang tercampakan, entah diri ini yang mencampakan atau bahkan orang lain yang membuang begitu saja. Kita pasti akan selalu membenci perpisahan,  tapi kita akan dengan senang hati membuka tangan untuk sebuah pertemuan. Pertemuan sebenarnya adalah pijakan pertama yang membawa kita lebih dekat dengan perpisahan. Pekerjaan kita sebetulnya hanya menanti. Menanti kepulangan seseorang dari sebuah kepergian, bukan begitu? Kepulangan yang belum tentu akan menetap, sebab seringnya hanya sekedar singgah. Dan, yang lebih mengejutkannya lagi, kita akan selalu menjadi perlindungan bagi orang lain selama mereka singgah dalam hidup kita.

Dikutip dari sebuah novel berjudul "KALA" yang sedang kunikmati potongan demi potongan cerita yang disajikan, mencermatinya dengan seksama setiap aksara yang tercipta, beberapa sejenak menamparku untuk kembali mengingat kejadian masa lalu. 

Jumat, 08 Juni 2018

Hari ini

Inilah pagi pertamamu di kampung halaman selepas hampir 2 bulan di kota perantauan
Inilah puasa pertamamu berteman keluarga selepas beberapa waktu lalu yang hanya berteman raga
Nikmatilah
Sambutlah sebagai bahagiamu sebelum hari raya tiba
Karena setelah ia tiba, ia pasti akan berlalu dan suasana keluarga akan terganti lagi dengan hal-hal yang baru
Hal-hal baru yang kan kau temui setibanya kau di tempat perantauan kembali

Selasa, 05 Juni 2018

Pertemuan terakhir di bulan Juni

Hari ini adalah pertemuan terakhirku dengannya sebelum akhirnya dia pergi untuk mudik ke kampung halamannya di luar jawa. Pertemuan yang singkat. Tuhan, aku benar-benar ingin memeluknya dengan sangat erat. Menggenggam tangannya dan tak ingin kulepaskan. Menatapnya tanpa ingin kukedipkan. Aku tak ingin dia cepat berlalu meninggalkanku untuk beberapa waktu yang cukup lama. Belum sempat sembuh rinduku padanya akibat pertengkaran dalam pertemuan beberapa waktu yang lalu. (Ceritanya ada di tulisan Beberapa Alenia (perihal rasaku)). Belum lagi sikapnya yang akhir-akhir ini membuatku gelisah, membuatku sedikit kecewa padanya, entah kenapa dia tak seperti dulu yang pertama kukenal, tak ada perhatian yang dia berikan, tak banyak percakapan yang dia ciptakan, dia mengabaikanku tak seperti dulu ketika dia mendekatiku. Banyak sekali hal yang ingin aku ungkapkan padanya. Tentang perasaanku, risauku, keluh kesahku. Tentang perasaannya, beberapa pertanyaan seputar kesibukannya, hal-hal yang tengah menderanya hingga akhir-akhir ini membuatnya begitu sibuk untuk menyelesaikannya, membuatnya mengabaikanku untuk beberapa waktu yang lalu, yang membuatku terjebak dalam rasa yang kucipta seorang diri. Sungguh aku selalu ingin tahu tentang segala sesuatu yang dia lakukan, yang dia rasakan. Aku sungguh ingin menjadi seseorang yang dia mau.

Kuminta ada sebuah pertemuan sebelum ia meninggalkan kota perantauannya (yang ku maksut adalah sebelum ia meninggalkanku). Buka puasa berdua dengannya, hanya itu satu-satunya waktu untukku dan ia bertemu. Jadwal pemberangkatan bisnya pukul 8 malam nanti, katanya. Tentu aku tak ingin hal ini menjadi sebuah rencana yang halu seperti rencana beberapa waktu lalu yang membuatnya sedikit membenciku karena batal bertemu. Seperti biasanya, dia memintaku menentukan tempat untuk nanti berbuka puasa. Tanpa pikir panjang kusebut nama tempat untuk aku dan ia berbuka. Selepas sholat maghrib ku hampiri dia karena tempat untuk aku dan ia berbuka tak jauh dari tempat ia tinggal. Kupacu laju kendaraanku, dalam hatiku bergeming "Tuhan, benarkah ini terakhir kalinya aku dan ia bertemu di bulan Juni?".

Segera aku dan ia duduk sesampainya ditempat makan. Waiter datang sembari membawa menu makanan. Nasi uduk dengan ayam bakar dan es jeruk menjadi pesanannya. Aku ingat, dia memang suka nasi uduk. Dia memesan ayam bakar, "paha ya mas", begitu ucapnya pada waiter. Aku memesan nasi biasa dengan ayam bakar dan es milo. Pesanan segera datang setelah aku dan ia menunggu untuk waktu yang tidak lama, tidak terlalu ramai disana, maklum karena memang sengaja aku dan ia datang saat waktu berbuka selepas sholat maghrib untuk menghindari antrian. Waitress menyajikan pesanan dimeja yang mana terdapat kursi tempat aku dan ia duduk. Kurasa ia sedikit kecewa karena yang disajikan adalah nasi uduk dengan dada ayam bakar dan es jeruk pesanannya, sedangkan nasi biasa dengan sayap ayam bakar (tadinya kupikir pesanan yang datang untukku adalah paha ayam bakar) dan es milo pesananku. Waitress berlalu. "Punyamu apa?", katanya. "Paha deh kayanya, nih ambil aja, tuker punyaku", kubilang. Dia menukar ayam bakar miliknya dengan ayam bakar milikku. "Ini mah sayap, bukan paha. Eh tapi gapapa ding, aku juga suka", ucapnya. "Sambalnya kok beda ya, kamu yang ini aja sambalnya, aku biasa dapet nasi box sambalnya yang itu, enak, sambal matah", ucapnya lagi. Lalu ia tukar sambal matahku dengan sambal lamongan miliknya. Aku tenang saja untuk apa-apa yang dilakukannya malam ini. Aku hanya ingin dia senang. Aku ingin dia merasa nyaman bersamaku. Aku hanya ingin menyaksikan segala tingkah yang dia olah, segala hal yang dia ceritakan padaku malam ini.  Tentang apa-apa saja yang dia lakukan, aku senang. Aku nyaman.

Ia selesai dengan makanannya, sedangkan aku tengah menghabiskan makananku. "10 menit lagi, buru-buru ini, aku belum siap-siap, belum nanti jemput si X (nama temannya yang akan mengantar ia ke terminal)", katanya. Aku paham betul, ia tak ingin tertinggal pemberangkatan bisnya pukul 8 nanti. Segera kuhabiskan makananku dan berlalu ke wastafel untuk membersihkan kedua tanganku. Kembalinya aku ke meja dan kursi tempat aku duduk, kuhabiskan es milo yang masih utuh belum kuminum semenjak makan tadi. Tak lama ia menyuruhku untuk menuju kasir sembari menyodorkan satu lembar uang seratus ribuan yang ada disakunya. Padahal tadinya aku berniat untuk membayar makan malam kali ini.

Dalam perjalanan pulang, kusenderkan daguku dipundaknya. Sebentar ku rangkul ia. "Kamu siap-siap aja, biar nanti si X suruh naik gojek ke tempatmu", kubilang. "Ya gak enaklah, masa aku yang minta tolong di anterin tapi aku gak modal", ucapnya. "Yaudah kamu siap-siap aja biar nanti si X aku yang jemput", ucapku. "Jangan gak usah, biar aku aja", balasnya. Entah apa yang dilakukannya seharian tadi hingga belum sempat ia mempersiapkan barang-barang yang akan dibawanya mudik. Saat kutanya, ia menjawab tidur. Entahlah, terserah dia saja.

Ia menyodorkan tangan kanannya sesampainya aku dan ia ditempat tinggalnya. Kurasa itu adalah isyarat untuk aku menciumnya sebagai tanda perpisahan atau sebagai tanda pamit bahwa ia akan meninggalkanku untuk beberapa waktu. Tanpa berpikir panjang, ku tarik tangan kanan yang ia sodorkan, lalu kucium tangannya. "Hati-hati", ucapnya. "Iya", kujawab. Ku putar balik kendaraanku sembari senyum merekah dibibirku. Kurasa waktu sedang berpihak padaku. Kurasa angin menghembuskan hal romantis yang baru saja terjadi pada semua benda yang ada disana yang ikut menyaksikannya. Malam yang indah. Aku senang, namun aku pun sedih. Aku masih ingin bersama dengannya untuk sedikit lebih lama, namun apa daya, jadwal pemberangkatan sebentar lagi tiba. Harus ku ikhlas melepasnya pergi menuju kampung halamannya. "Hati-hati di jalan, selamat sampai tujuan ya. Ingat aku, aku selalu merindumu", itu adalah kata terakhir yang tadinya ingin ku ucap sebelum berlalu darinya, namun aku tak sanggup, aku hanya bisa mengucapnya dalam hati sembari menuju perjalanan pulang.

Aku berusaha menuliskan tentang apa-apa saja kejadian yang kualami hari ini, entahlah rasanya lega. Pada siapa lagi aku menceritakan segalanya selain pada-Nya dan tulisan ini. Sudahlah, kadang kupikir aku terlalu mengharapkannya. Bagaimana lagi? Hanya itu yang sanggup aku lakukan. Aku hanya ingin melakukan apa-apa saja yang membuat orang lain merasa nyaman akan hadirku, termasuk dia. Kuharap dia paham perasaanku. Kuharap dia tak akan mengecewakanku. Sampai jumpa, selamat sampai tujuan ya. Salam rindu, dariku.

Sabtu, 02 Juni 2018

Aku

Aku, sangat ingin selalu berada disampingmu, seseorang yang ingin selalu membahagiakanku tanpa ada maksut untuk mengecewakanku sebab kau teramat sangat mencintaiku.

Aku, sangat ingin dimiliki olehmu, seseorang yang hanya ingin bersamaku tanpa ada maksud untuk meninggalkanku sebab kau sungguh bangga memilikiku.

Aku, sangat ingin menjadi kanak-kanak ketika bersamamu, dibuai manja oleh tingkah yang kau olah dan kau ingin selalu melakukannya sebab rindu jadi menggebu dan selalu tertuju padaku bila sehari tak bertemu.

Aku, sangat ingin merasa dicintai sehebat itu, dimiliki sebangga itu, dirindui sedahsyat itu.

Minggu, 20 Mei 2018

Beberapa alenia (perihal rasaku)

Yaa anggap saja pertemuan sore itu sebagai rasa bersalahku perihal buatmu kesal sabtu lalu. Entahlah, aku mencoba menjadi sabar sekuat yang kubisa. Sakit memang, tapi yasudahlah. Mau bagaimana lagi? Seperti apa caranya agar semua kembali seperti semula. Kadang aku lelah menapaki rasa yang kucipta seorang diri. Kadang gelisah, gundah. Campur aduk acuh tak acuh jadi satu. Allah. Ampuni aku atas segala kekhilafanku. Ampuni aku yang mencintainya lebih dibanding mencintai-Mu.

Ku parkir sepeda motorku di depan bangunan itu, ku telfon ia, ku katakan aku sudah didepan. Ia keluar sembari kusodorkan tempat penyimpanan dataku, kubilang padanya "jangan dibawa". Tak lama ada seorang temannya keluar dari bangunan itu, memintaku untuk masuk saja kedalam. Segera setelah temannya keluar, ia langsung masuk kedalam sembari berkata "ngopy filenya didalem". Ku bilang pada temannya "iya" ketika tadi mengajakku bicara, aku masuk ke dalam lalu tak lama temannya pergi keluar meninggalkan bangunan.

"instal in sekalian", begitu katanya. Ku instal file yang ada di penyimpanan dataku di laptopnya. Sembari menunggu instalasi selesai, dia asik bermain dengan ponselnya, begitupun aku. Tak ada percakapan yang berarti sore itu, hanya sebatas percakapan yang bagiku tidak membuat makna tersendiri untuk pertemuan kali ini. Raut wajahnya masih saja nampak tidak berselera. Aku merasa bahwa hadirku tadi sia-sia. Jika bukan karena rasa bersalahku perihal lupa menyalin file itu kemarin, lebih baik pertemuan tadi tak perlu terjadi.

Ku tanya "nanti bukanya gimana?", dia jawab "gampang, biasa gak makan kok aku, kemarin aja gak makan, disuruh nyalin filenya dari kemarin aja malah enggak". Aku menunduk, terdiam. Dia menyalahkanku perihal sabtu lalu. Rencana indah buka puasa berdua yang berakhir halu. "abis magrib kalo gak isya itu nyari makannya, kalo mau maghrib rame" begitu ucapnya sabtu lalu. Perihal bertemu dengannya spontan saja kujawab "iya". Tak lama temannya pulang bersama seorang wanita sembari membawa beberapa bahan makanan yang hendak dimasak untuk berbuka. Aku duduk bersila dibawah sambil sesekali membalas chat grup whatsapp di ponselku. Dia duduk di kursi panjang ruang tamu sambil sibuk memainkan ponselnya. Setelah instalasi selesai, kuputuskan untuk pulang saja. Ku pikir, untuk apa berlama-lama berada disana tanpa ada sebuah kata yang menjadi rangkaian kalimat untuk kami berdiskusi. Aku kembali bertanya "nanti buka dimana?" kembali ia jawab "gampang", ku bilang "nanti aku temenin", dia jawab "itu si dia (menyebut nama temannya) juga mau masak, kalo mau pulang ya pulang aja, capek kan, dari pagi keluar".

Ohiya, perihal sabtu lalu sebenarnya rencana untuk buka puasa berdua sembari dia menyalin file yang dia minta untuk aku mencarinya. Dia kira kegiatanku  dikampus selesai hingga petang, padahal aku pulang sore sekitar pukul 5. Dia tak bertanya kapan aku pulang, aku pun tak memberitahunya kapan aku akan pulang. Mungkin ini awal permasalahannya. Komunikasi tentang hal sekecil apapun itu sangat penting. Cuaca mendung sore itu, kuputuskan untuk pulang kerumah saja daripada menunggu hingga selepas maghrib disana (kampus) seorang diri. Sebelum pulang, kukabari dia. Pesanku belum juga dibalas, kukabari lagi untuk kedua kalinya dan belum juga ia balas, lalu dengan tergesa-gesa kupacu laju kendaraanku mengingat langit sudah pekat pertanda hujan segera mengguyur dengan gemerciknya yang tak teratur.

Segera ku cek ponselku setibanya dirumah. Ia membalas pesanku, "kok dah pulang? ah, aku gak beli apa-apa", kujawab "iya pulang jam 5 an, tempatku ujan ih. Ntar aku kesitu abis magrib, mau sholat dulu", ia balas "kalo ujan ga usah", kutanya "ntar kamu bukanya gimana? ini ujan sih", ia jawab "yaudah gampang ntar, aku cuman buat teh anget :(", kembali ku tanya "buka sendiri? :(", ia jawab "ada si A (inisial untuk salah seorang temannya) beli gorengan, dia mau bikin mie goreng", ku tanya lagi "kamu? gajadi berarti ya?", lalu ia jawab "terserah, jadi ya gapapa, sini poo, mana filenya? hujan gak?", ku jawab "gak tarawih? astaghfirullah, lupaaa" lalu ia jawab "gimana sih? mau sini gak? kalo gak yaudah". Dari percakapan itu, aku membuat kesimpulan bahwa ia sudah makan, dan aku lega. Hujan sedikit reda dan kupikir aku akan menemuinya selepas pulang dari tarawih, mengingat ia sudah makan untuk berbuka. Lalu pertanyaan terakhirnya ku jawab "engga, mau tarawih. abis tarawih aja ya? gimana?" lalu spontan ia balas "ya allah :( sekarang aja ngapa" ku jawab "tarawih dulu (karena kupikir ia sudah makan)" ia jawab "yawis gausah ah, udah bad mood".

Sepulang tarawih, yaa seperti katanya "badmood".

Aku salah? Sedikitpun aku tak bermaksud buatnya kecewa. Aku membenci diriku sendiri karena membuatnya tidak berselera, rasanya aku tak berhak buatnya bahagia. Jauh dari semua percakapan itu, sesungguhnya aku tengah merindu. Hingga tak lama tercipta rangkaian kata berakhir puisi di sudut kamarku.


Setelah saling diam cukup lama diruangan itu, aku putuskan untuk pulang. Hadirku sia-sia disana. Kembali ku ucapkan maaf sesaat sebelum aku menoleh dan beranjak pergi meninggalkan ruangan itu. Tak lama ia berkata "makasih, ati-ati". Kupacu laju kendaraanku sembari menahan air yang terkumpul dikedua kelopak mataku, memaksaku menitihkannya namun ku tahan. Selang beberapa meter jauh dari sana, akhirnya tak kuasa ku tahan air itu lama-lama. Jatuh seketika tak kala aku berhenti di lampu merah simpang lima, beberapa orang yang ada di kanan dan kiri ku menyaksikan aku dengan guyuran hujan dari mataku. Aku tak perduli.  Entahlah, rasanya lega. Lampu merah kini berganti hijau, kulanjutkan perjalanan pulangku sembari kubiarkan air itu mengering dengan sendirinya akibat angin yang berhembus berlawanan dari kendaraan yang kupacu kencang melaju.