Yaa anggap saja pertemuan sore itu sebagai rasa bersalahku perihal buatmu kesal sabtu lalu. Entahlah, aku mencoba menjadi sabar sekuat yang kubisa. Sakit memang, tapi yasudahlah. Mau bagaimana lagi? Seperti apa caranya agar semua kembali seperti semula. Kadang aku lelah menapaki rasa yang kucipta seorang diri. Kadang gelisah, gundah. Campur aduk acuh tak acuh jadi satu. Allah. Ampuni aku atas segala kekhilafanku. Ampuni aku yang mencintainya lebih dibanding mencintai-Mu.
Ku parkir sepeda motorku di depan bangunan itu, ku telfon ia, ku katakan aku sudah didepan. Ia keluar sembari kusodorkan tempat penyimpanan dataku, kubilang padanya "jangan dibawa". Tak lama ada seorang temannya keluar dari bangunan itu, memintaku untuk masuk saja kedalam. Segera setelah temannya keluar, ia langsung masuk kedalam sembari berkata "ngopy filenya didalem". Ku bilang pada temannya "iya" ketika tadi mengajakku bicara, aku masuk ke dalam lalu tak lama temannya pergi keluar meninggalkan bangunan.
"instal in sekalian", begitu katanya. Ku instal file yang ada di penyimpanan dataku di laptopnya. Sembari menunggu instalasi selesai, dia asik bermain dengan ponselnya, begitupun aku. Tak ada percakapan yang berarti sore itu, hanya sebatas percakapan yang bagiku tidak membuat makna tersendiri untuk pertemuan kali ini. Raut wajahnya masih saja nampak tidak berselera. Aku merasa bahwa hadirku tadi sia-sia. Jika bukan karena rasa bersalahku perihal lupa menyalin file itu kemarin, lebih baik pertemuan tadi tak perlu terjadi.
Ku tanya "nanti bukanya gimana?", dia jawab "gampang, biasa gak makan kok aku, kemarin aja gak makan, disuruh nyalin filenya dari kemarin aja malah enggak". Aku menunduk, terdiam. Dia menyalahkanku perihal sabtu lalu. Rencana indah buka puasa berdua yang berakhir halu. "abis magrib kalo gak isya itu nyari makannya, kalo mau maghrib rame" begitu ucapnya sabtu lalu. Perihal bertemu dengannya spontan saja kujawab "iya". Tak lama temannya pulang bersama seorang wanita sembari membawa beberapa bahan makanan yang hendak dimasak untuk berbuka. Aku duduk bersila dibawah sambil sesekali membalas chat grup whatsapp di ponselku. Dia duduk di kursi panjang ruang tamu sambil sibuk memainkan ponselnya. Setelah instalasi selesai, kuputuskan untuk pulang saja. Ku pikir, untuk apa berlama-lama berada disana tanpa ada sebuah kata yang menjadi rangkaian kalimat untuk kami berdiskusi. Aku kembali bertanya "nanti buka dimana?" kembali ia jawab "gampang", ku bilang "nanti aku temenin", dia jawab "itu si dia (menyebut nama temannya) juga mau masak, kalo mau pulang ya pulang aja, capek kan, dari pagi keluar".
Ohiya, perihal sabtu lalu sebenarnya rencana untuk buka puasa berdua sembari dia menyalin file yang dia minta untuk aku mencarinya. Dia kira kegiatanku dikampus selesai hingga petang, padahal aku pulang sore sekitar pukul 5. Dia tak bertanya kapan aku pulang, aku pun tak memberitahunya kapan aku akan pulang. Mungkin ini awal permasalahannya. Komunikasi tentang hal sekecil apapun itu sangat penting. Cuaca mendung sore itu, kuputuskan untuk pulang kerumah saja daripada menunggu hingga selepas maghrib disana (kampus) seorang diri. Sebelum pulang, kukabari dia. Pesanku belum juga dibalas, kukabari lagi untuk kedua kalinya dan belum juga ia balas, lalu dengan tergesa-gesa kupacu laju kendaraanku mengingat langit sudah pekat pertanda hujan segera mengguyur dengan gemerciknya yang tak teratur.
Segera ku cek ponselku setibanya dirumah. Ia membalas pesanku, "kok dah pulang? ah, aku gak beli apa-apa", kujawab "iya pulang jam 5 an, tempatku ujan ih. Ntar aku kesitu abis magrib, mau sholat dulu", ia balas "kalo ujan ga usah", kutanya "ntar kamu bukanya gimana? ini ujan sih", ia jawab "yaudah gampang ntar, aku cuman buat teh anget :(", kembali ku tanya "buka sendiri? :(", ia jawab "ada si A (inisial untuk salah seorang temannya) beli gorengan, dia mau bikin mie goreng", ku tanya lagi "kamu? gajadi berarti ya?", lalu ia jawab "terserah, jadi ya gapapa, sini poo, mana filenya? hujan gak?", ku jawab "gak tarawih? astaghfirullah, lupaaa" lalu ia jawab "gimana sih? mau sini gak? kalo gak yaudah". Dari percakapan itu, aku membuat kesimpulan bahwa ia sudah makan, dan aku lega. Hujan sedikit reda dan kupikir aku akan menemuinya selepas pulang dari tarawih, mengingat ia sudah makan untuk berbuka. Lalu pertanyaan terakhirnya ku jawab "engga, mau tarawih. abis tarawih aja ya? gimana?" lalu spontan ia balas "ya allah :( sekarang aja ngapa" ku jawab "tarawih dulu (karena kupikir ia sudah makan)" ia jawab "yawis gausah ah, udah bad mood".
Sepulang tarawih, yaa seperti katanya "badmood".
Aku salah? Sedikitpun aku tak bermaksud buatnya kecewa. Aku membenci diriku sendiri karena membuatnya tidak berselera, rasanya aku tak berhak buatnya bahagia. Jauh dari semua percakapan itu, sesungguhnya aku tengah merindu. Hingga tak lama tercipta rangkaian kata berakhir puisi di sudut kamarku.

Setelah saling diam cukup lama diruangan itu, aku putuskan untuk pulang. Hadirku sia-sia disana. Kembali ku ucapkan maaf sesaat sebelum aku menoleh dan beranjak pergi meninggalkan ruangan itu. Tak lama ia berkata "makasih, ati-ati". Kupacu laju kendaraanku sembari menahan air yang terkumpul dikedua kelopak mataku, memaksaku menitihkannya namun ku tahan. Selang beberapa meter jauh dari sana, akhirnya tak kuasa ku tahan air itu lama-lama. Jatuh seketika tak kala aku berhenti di lampu merah simpang lima, beberapa orang yang ada di kanan dan kiri ku menyaksikan aku dengan guyuran hujan dari mataku. Aku tak perduli. Entahlah, rasanya lega. Lampu merah kini berganti hijau, kulanjutkan perjalanan pulangku sembari kubiarkan air itu mengering dengan sendirinya akibat angin yang berhembus berlawanan dari kendaraan yang kupacu kencang melaju.