Setiap pagi rasanya biasa saja, tak ada yang istimewa. Aku selalu disuguhkan oleh perasaan-perasaan gundah yang kucipta sendiri, perasaan-perasaan yang timbul akibat konspirasi antara hati dan logika. Belum usai penatku luruh akibat tugas kuliah yang rasanya semakin tua semester yang ku tempuh maka semakin menumpuk bak sampah yang dihasilkan setiap individu yang kemudian membuangnya sembarangan hingga berserekan di jalanan bahkan sampai selokan, menjadi sebab salah satu pemicu banjir yang sulit teratasi, lalu dipungut oleh pengepul sampah untuk kemudian dibawa hingga terkumpul dibukit sampah dekat pantai disalah satu tempat yang ada di Pekalongan. Pikiranku keluh oleh banyaknya pemikiran-pemikiran yang membunuh tiap hela nafas segar yang kuhirup di tiap pagi ku membuka mata. Tentang laporan kerja praktikku yang tak kunjung kelar, revisiannya yang buatku malas untuk merampungkannya, padahal dosen pembimbing terang-terangan memberiku peluang untuk tak perlu memikirkannya terlalu dalam, beliau memberiku pilihan untuk acc langsung ketika kemarin aku dan temanku (partner karena kami kerja praktik ditempat yang sama) bimbingan atau memperbaiki dahulu laporanku dengan benar lalu dilain waktu untuk kembali bimbingan beliau akan meng-acc nya. Spontan kuminta untuk kami perbaiki terlebih dahulu laporan kerja praktik kami lalu segera setelahnya beliau bisa acc. Derita semester tua, mungkin begitulah kiranya pemikiran -pemikiran yang buatku gelisah beberapa waktu ini. Segera setelah laporan kerja praktik ini selesai, maka aku akan dicekoki oleh serangkaian kegiatan yang berat untuk kujalani. Proposal untuk pengajuan skripsi, dan skripsi itu sendiri. Allah, aku saja masih belum paham bagaimana membuat sebuah program, jangankan program kompleks untuk skripsiku nanti, program sederhana pun rasanya aku tak mampu untuk membuatnya, lalu bagaimana dengan skripsiku nanti? Inilah pemikiran-pemikiran yang terus menggangguku, mengusir ketentraman otakku. Entah bagaimana nanti kuhadapi proposal pengajuan skripsi sedang judul untuk skripsinya saja aku tak tahu. Entah bagaimana nanti kuhadapi skripsi sedang membuat program saja aku tak mampu.
Aku sedang berbaring dikamarku, tempat dimana aku tidur yang mana terdapat dua buah boneka, ada satu boneka yang kuberi nama Alina pemberian mantanku dihari ulangtahunku yang ke-17 atau ke-18 aku lupa, dan satunya lagi Siena pemberian sahabatku sebagai kado ulangtahunku ke-20 kemarin ketika aku liburan di kota perantauannya di Semarang. Ada beberapa boneka lagi sebenarnya, tetapi tak kubawa pindah kesini. Membaca ini tentu kalian paham bahwa aku menyukai boneka. Tentu saja. Selain berbaring, aku sembari membaca novel kepunyaan temanku. "KALA" judul novel yang tengah kubaca. Novel ini berkisah tentang sepasang luka yang saling melupa, Lara adalah salah seorang pemain dalam novel ini. Lara seorang penulis, beberapa tulisannya dimuat dalam novel ini. Aku seperti dibuat kagum akan kelihaiannya dalam mendeskripsikan segala rasa yang tercipta. Kini aku tenggelam, hanyut dalam setiap rentetan aksara yang mengingatkanku kembali akan kejadian waktu itu. Kejadian yang mana memaksaku untuk memilih antara bertahan atau melepaskan. Terimakasih, Lara.
Belum sempat usai kuhabiskan cerita yang ada dalam novel itu, otakku kembali dibuat penat oleh pemikiran -pemikiran yang buatku kelu. Beberapa diantaranya terkait cinta. Macam mana pula aku ini, seharusnya tak pantas aku memikirkannya karena untuk pemikiran-pemikiran tentang skripsi saja aku sudah kuwalahan, ditambah ini. Apa sebenarnya yang kau mau! Sebenarnya mudah saja bagiku untuk mendapatkan pasangan, jika kumau detik ini pun aku bisa. Terlampau banyak laki-laki yang sedang berusaha mendekatiku, bahkan diantara mereka ada yang terang-terangan menyatakan rasanya padaku, namun ku tolak begitu saja. Perihal cinta menurutku sejatinya adalah rasa dimana dengannya kau ingin selalu bersama bukan? Karena pada akhirnya kalian akan selalu berada berdampingan dengannya dalam suka maupun duka hingga menua dan kemudian kembali menghadap Sang Ilahi. Mereka yang tengah mendekatiku tak satupun dari mereka yang mampu mendobrak paksa pintu yang sudah hampir 2 tahun tertutup rapat, aku memang sengaja menutupnya, aku hanya ingin beristirahat dari sandiwaranya, sandirawa cinta. Tak ada dari mereka yang mampu meluluhkan hatiku, tak ada dari mereka yang aku suka, tak ada dari mereka yang aku mau. Meski banyak kebahagian yang sanggup mereka suguhkan, aku tak sedikit pun tergugah untuk membuka pintu itu.
Ada seorang lelaki yang kini dengannya aku jatuh hati, entah bagaimana bisa aku menyukainya. Dari sekian banyak lelaki, padanya lah cintaku tertambat. Hingga tak mampu ku pungkiri aku begitu menginginkannya, aku begitu ingin menjadi seseorang yang dia mau padahal mungkin dia tak niatan untuk menaruh hati, dia hanya bersimpati. Aku mengenalnya karena dia satu kelas dengan Egna. Egna adalah lelaki yang padakulah ia menjatuhkan hati. Saat pendekatan dengan Egna, aku sedang berusaha untuk move on dari lelaki yang memberiku kado boneka yang kemudian kuberi nama Alina. Aku dengan lelaki itu menjalani hubungan selama 3 tahun kurang 2 bulan, atau selama 34 bulan. Egna begitu menyukaiku, tak ku pungkiri dirinya begitu menginginkanku, namun aku belum mampu move on dari lelaki itu hingga akhirnya aku memilih untuk kembali bersama lelaki itu, meninggalkan Egna. Dia pernah membenciku saat dulu aku memilih untuk meninggalkannya. Satu setengah tahun lebih berlalu, namun hubunganku dengan Egna masih baik selayaknya kami berteman dengan sangat baik. Dia sempat berkomen pada insta storyku :
Bahwa sesungguhnya aku tidak terima atas segala bahagiamu, karena aku selalu yakin aku yang paling bisa membahagiakanmu. Namun terlambat, padanya cintamu telah tertambat. Kau tak pernah memberikan kesempatan, menjadikanku teman cerita sudah cukup membuatmu nyaman. Sedetik saja sungguh ingin aku memilikimu, walau tak selamanya, paling tidak bisa mewarnai setiap cerita. Karena kini tentangmu hanyalah perih, dan penyesalan yang terucap lirih.
Aku memang bersalah pada waktu itu, bisa dipastikan aku memilih cara yang salah karena pada akhirnya pun aku dan lelaki itu akhirnya berpisah untuk selamanya. Belum lama ini aku menuliskan sesuatu tentang Egna, sebuah puisi layaknya Dilan menuliskan puisi untuk Milea ketika ia merindukannya.
Egna telah memiliki seorang tambatan hati, kurasa dia bahagia sekarang. Aku turut bahagia untuknya.
Egna 1
Jika kau belajar menyakiti dariku, maka aku belajar mencintai darimu.
Jika kau anggap aku racun, maka aku anggap kau madu.
Jika kau ceritakan keburukan tentangku, maka ku ceritakan kebaikan tentangmu.
Jika kau menyesal pernah mengenalku, maka aku bahagia pernah mengenalmu.
Egna 2
Katakan, pantaskah aku mendapatkan bahagiaku? Mengapa begitu cepat kau berlalu sebelum sempat cintaku tertambat padamu? Jika kau pikir caraku salah pada waktu itu, mengapa tak kau bimbing aku pada cara yang benar untuk menujumu?
Sudah lewat tengah hari dan lelaki yang kusuka itu tak kunjung memberiku kabar. Tadi pagi aku mengeluhkan kondisiku padanya, aku flu. Pukul 12.33 dia mengabariku, "sibuk aku dek, maaf ow" seperti itu pesan yang dia kirimkan untukku. Aku tertidur sedari tadi menunggu kabarnya, kubalas pesannya hampir pukul 2 siang segera setelah aku bangun. "iya mas", begitu kujawab. Sudah 3 hari dia berada di kampung halamannya. Dia selalu disibukkan olrh pekerjaan-pekerjaan yang ada disana. Tak jarang dia bermain dengan dua keponakan perempuannya hingga dengan susah payah dia menidurkan mereka. Ku tanya, "gimana bisa nidurin mereka berdua?". "Ku kasih hp, buka youtube. Sampe dijambak rambutku, dinaikin", katanya. Sebenarnya sudah lama aku mengenalnya, seperti yang tadi kubilang bahwa dia adalah teman Egna dimana aku dan Egna kenal sudah hampir 2 tahun semenjak aku putus dengan lelaki yang tak ingin kusebut namanya. Secara langsung pun aku mengenal dia hampir 2 tahun bukan? Namun pendekatan kami baru berkisar selama 3 bulan dimulai semenjak chatting via dm di instagram hingga akhirnya saling bertukar nomor whatsapp. Setelah itu kami menjadi semakin dekat, hingga sekarang.
Pikiran-pikiranku selalu di iringi perasaan sendu yang menggebu. Aku menginginkan adanya cinta yang sejalan dengan hatiku, mampu memahami setiap asa yang menggelora, menuntunku menjadi pribadi yang baik. Aku selalu ingin dicintai oleh seseorang yang denganku ia tak ingin meninggalkanku. Tak ku pungkiri sejatinya aku tengah menanti. Menanti seseorang yang pasti yang akan datang dengan pasti. Tak ku pungkiri sesungguhnya aku tengah menunggu. Menunggu seseorang yang tepat yang akan datang disaat yang tepat.