Minggu, 20 Mei 2018

Beberapa alenia (perihal rasaku)

Yaa anggap saja pertemuan sore itu sebagai rasa bersalahku perihal buatmu kesal sabtu lalu. Entahlah, aku mencoba menjadi sabar sekuat yang kubisa. Sakit memang, tapi yasudahlah. Mau bagaimana lagi? Seperti apa caranya agar semua kembali seperti semula. Kadang aku lelah menapaki rasa yang kucipta seorang diri. Kadang gelisah, gundah. Campur aduk acuh tak acuh jadi satu. Allah. Ampuni aku atas segala kekhilafanku. Ampuni aku yang mencintainya lebih dibanding mencintai-Mu.

Ku parkir sepeda motorku di depan bangunan itu, ku telfon ia, ku katakan aku sudah didepan. Ia keluar sembari kusodorkan tempat penyimpanan dataku, kubilang padanya "jangan dibawa". Tak lama ada seorang temannya keluar dari bangunan itu, memintaku untuk masuk saja kedalam. Segera setelah temannya keluar, ia langsung masuk kedalam sembari berkata "ngopy filenya didalem". Ku bilang pada temannya "iya" ketika tadi mengajakku bicara, aku masuk ke dalam lalu tak lama temannya pergi keluar meninggalkan bangunan.

"instal in sekalian", begitu katanya. Ku instal file yang ada di penyimpanan dataku di laptopnya. Sembari menunggu instalasi selesai, dia asik bermain dengan ponselnya, begitupun aku. Tak ada percakapan yang berarti sore itu, hanya sebatas percakapan yang bagiku tidak membuat makna tersendiri untuk pertemuan kali ini. Raut wajahnya masih saja nampak tidak berselera. Aku merasa bahwa hadirku tadi sia-sia. Jika bukan karena rasa bersalahku perihal lupa menyalin file itu kemarin, lebih baik pertemuan tadi tak perlu terjadi.

Ku tanya "nanti bukanya gimana?", dia jawab "gampang, biasa gak makan kok aku, kemarin aja gak makan, disuruh nyalin filenya dari kemarin aja malah enggak". Aku menunduk, terdiam. Dia menyalahkanku perihal sabtu lalu. Rencana indah buka puasa berdua yang berakhir halu. "abis magrib kalo gak isya itu nyari makannya, kalo mau maghrib rame" begitu ucapnya sabtu lalu. Perihal bertemu dengannya spontan saja kujawab "iya". Tak lama temannya pulang bersama seorang wanita sembari membawa beberapa bahan makanan yang hendak dimasak untuk berbuka. Aku duduk bersila dibawah sambil sesekali membalas chat grup whatsapp di ponselku. Dia duduk di kursi panjang ruang tamu sambil sibuk memainkan ponselnya. Setelah instalasi selesai, kuputuskan untuk pulang saja. Ku pikir, untuk apa berlama-lama berada disana tanpa ada sebuah kata yang menjadi rangkaian kalimat untuk kami berdiskusi. Aku kembali bertanya "nanti buka dimana?" kembali ia jawab "gampang", ku bilang "nanti aku temenin", dia jawab "itu si dia (menyebut nama temannya) juga mau masak, kalo mau pulang ya pulang aja, capek kan, dari pagi keluar".

Ohiya, perihal sabtu lalu sebenarnya rencana untuk buka puasa berdua sembari dia menyalin file yang dia minta untuk aku mencarinya. Dia kira kegiatanku  dikampus selesai hingga petang, padahal aku pulang sore sekitar pukul 5. Dia tak bertanya kapan aku pulang, aku pun tak memberitahunya kapan aku akan pulang. Mungkin ini awal permasalahannya. Komunikasi tentang hal sekecil apapun itu sangat penting. Cuaca mendung sore itu, kuputuskan untuk pulang kerumah saja daripada menunggu hingga selepas maghrib disana (kampus) seorang diri. Sebelum pulang, kukabari dia. Pesanku belum juga dibalas, kukabari lagi untuk kedua kalinya dan belum juga ia balas, lalu dengan tergesa-gesa kupacu laju kendaraanku mengingat langit sudah pekat pertanda hujan segera mengguyur dengan gemerciknya yang tak teratur.

Segera ku cek ponselku setibanya dirumah. Ia membalas pesanku, "kok dah pulang? ah, aku gak beli apa-apa", kujawab "iya pulang jam 5 an, tempatku ujan ih. Ntar aku kesitu abis magrib, mau sholat dulu", ia balas "kalo ujan ga usah", kutanya "ntar kamu bukanya gimana? ini ujan sih", ia jawab "yaudah gampang ntar, aku cuman buat teh anget :(", kembali ku tanya "buka sendiri? :(", ia jawab "ada si A (inisial untuk salah seorang temannya) beli gorengan, dia mau bikin mie goreng", ku tanya lagi "kamu? gajadi berarti ya?", lalu ia jawab "terserah, jadi ya gapapa, sini poo, mana filenya? hujan gak?", ku jawab "gak tarawih? astaghfirullah, lupaaa" lalu ia jawab "gimana sih? mau sini gak? kalo gak yaudah". Dari percakapan itu, aku membuat kesimpulan bahwa ia sudah makan, dan aku lega. Hujan sedikit reda dan kupikir aku akan menemuinya selepas pulang dari tarawih, mengingat ia sudah makan untuk berbuka. Lalu pertanyaan terakhirnya ku jawab "engga, mau tarawih. abis tarawih aja ya? gimana?" lalu spontan ia balas "ya allah :( sekarang aja ngapa" ku jawab "tarawih dulu (karena kupikir ia sudah makan)" ia jawab "yawis gausah ah, udah bad mood".

Sepulang tarawih, yaa seperti katanya "badmood".

Aku salah? Sedikitpun aku tak bermaksud buatnya kecewa. Aku membenci diriku sendiri karena membuatnya tidak berselera, rasanya aku tak berhak buatnya bahagia. Jauh dari semua percakapan itu, sesungguhnya aku tengah merindu. Hingga tak lama tercipta rangkaian kata berakhir puisi di sudut kamarku.


Setelah saling diam cukup lama diruangan itu, aku putuskan untuk pulang. Hadirku sia-sia disana. Kembali ku ucapkan maaf sesaat sebelum aku menoleh dan beranjak pergi meninggalkan ruangan itu. Tak lama ia berkata "makasih, ati-ati". Kupacu laju kendaraanku sembari menahan air yang terkumpul dikedua kelopak mataku, memaksaku menitihkannya namun ku tahan. Selang beberapa meter jauh dari sana, akhirnya tak kuasa ku tahan air itu lama-lama. Jatuh seketika tak kala aku berhenti di lampu merah simpang lima, beberapa orang yang ada di kanan dan kiri ku menyaksikan aku dengan guyuran hujan dari mataku. Aku tak perduli.  Entahlah, rasanya lega. Lampu merah kini berganti hijau, kulanjutkan perjalanan pulangku sembari kubiarkan air itu mengering dengan sendirinya akibat angin yang berhembus berlawanan dari kendaraan yang kupacu kencang melaju.

Jumat, 18 Mei 2018

Sebuah Perjalanan

Cinta itu adalah sepasang manusia yang saling menginginkan satu tujuan, saling bertukar kasih sayang, dan menjaga komitmen. Bagaimana menurut kalian? Kurang lebih pasti setuju akan hal ini. Aku lupa kapan terakhir kali aku mengenal cinta, maksudku definisi tentang cinta yang baru saja aku jabarkan. Saling menginginkan satu tujuan untuk selalu bersama-sama dalam suka maupun duka. Usiaku waktu itu masih cukup terlalu muda, bisa dibilang remaja yang mana orang bilang jatuh cinta pada usia itu sudah menjadi suatu hal yang biasa dengan perkembangan jaman seperti sekarang ini. Entah bagaimana aku bertemu dengannya, rasanya sulit untuk kujelaskan setiap detail peristiwanya. Namun sejak pertemuan itu, duniaku menjadi indah. Kalian tentu tahu bagaimana rasanya jika kalian memiliki seorang kekasih yang dengannya kalian ingin selalu menghabiskan waktu bersama.

Setiap pagi menjadi cerah, sore menjadi indah, dan ketika malam datang selalu kunantikan hari yang dengannya aku merasa sangat dicintai. "Selamat pagi, hari ini harus lebih baik dari kemarin. Semangat :)", seperti itu ucapnya kala pagi menyambutku lewat pesan singkat diponsel yang dikirimnya setiap hari. Dia tak sempurna, begitupun aku. Setiap orang takkan ada yang sempurna karena kesempurnaan hanya milik-Nya, begitulah orang mengungkapkannya setiap kali berdiskusi tentang makna kata dari sempurna. Setiap hari kami selalu meluangkan waktu untuk bertemu, itulah sebab kenapa ku ungkapkan bahwa dengannya kuingin selalu bersama walau pada kenyataannya kami hanya bertemu sesempatnya saja.  Setiap hari cinta itu tumbuh dan semakin baik.

Dia mengantarku ke rumah setiap kali pulang dari sekolah. Dengan senang hati dia menjemputku. "Gak pernah ngerepotin, aku justru seneng bisa anter kamu balik. Kalo bisa aku anter kamu balik tiap hari", begitu katanya setiap kali kupastikan apakah aku membuatnya merasa direpotkan. Kisah cinta ala remaja putih abu-abu pada waktu itu, sebagian besar dari kalian tentu sudah pernah mengalaminya. Saling memberi kabar dan bertukar kasih sayang, rasanya dunia milik berdua. Setiap hari kami saling bertukar cerita bahkan untuk hal sekecil apapun. Hal-hal seperti jalan lalu tersandung sampai terpeleset dikamar mandi. Dia selalu mengirimku voicenote yang tersirat rasa sayang dalam dalam lagu-lagu yang ia nyanyikan. Betapa aku sangat bahagia karena dia selalu berusaha membuatku bahagia setiap harinya.

Silverqueen dan cornetto, dua pengembali mood yang seakan tak pernah lupa ia bawa. Hampir sering ia membelinya, dia selalu paham bagaimana cara membuatku merasa dimanja. Aku menyukainya. "Cie lagi ngambek, bete ya?", begitu ucapnya ketika tak disangka tiba dirumahku lalu menyodorkan dua pengembali mood itu. Atau ketika anniversary tiba lalu dia datang membawakanku coklat, terkadang ice cream, bahkan pernah dia memberiku setangkai bunga. Betapa ia sangat tahu bagaimana cara meluluhkan hatiku!

Begitulah kiranya beberapa kenangan baik yang selalu tersimpan rapi dalam memori. Aku hanya ingin menceritakan kenangan baik yang ada sebagai pembangkit diri bahwa hal itu pernah aku alami. Beberapa kenangan baik yang memang selayaknya untuk kusimpan. Tak perlu kiranya kenangan buruk menghancurkan itu semua. Hal itu nyata dan pernah ku alami, maka akan selamanya abadi segala yang pernah terjadi.

Bukan rindu, sejatinya sebuah kenangan tidak selamanya berkaitan dengan hal itu. Kenangan adalah sebuah kekuatan untuk membentuk pribadi yang lebih baik dan kokoh dari sebelumnya setelah berulang kali dihancurkan oleh harapan yang tidak selaras dengan kenyataan, termasuk kenangan baik dan buruk yang pernah dialami. Aku dengan segala kekuatan yang kumiliki terus bangkit dan introspeksi diri bahwa kebahagiaan sejati tidak diukur dari apa yang aku miliki atau siapa aku sesungguhnya, tetapi tentang apa yang aku pikirkan.

Aku berterimakasih karena dia pernah melengkapi hari-hariku, bersama membangun angan dengan sejuta kebahagiaan. Kalian tahu? Jatuh cinta itu bukan suatu rencana, namun sebuah perjalanan.

Rabu, 09 Mei 2018

Egois. Tak Adil!

Egois. Entah pantas atau tidak untukmu mendapatkannya, atau justru itu kata yang paling tepat untuk kau dapatkan. Bukankah cinta seharusnya rasa "nyaman" dari dua sejoli dalam memadu kasih? Nyaman dalam artian lebih dari hanya sekedar rasa yang didapat dari sebuah pertemanan. Kita berteman dari awal, jauh dari semua kenyataan ini yang terkadang membunuh setiap rasa yang ada padaku. Kau mungkin lebih lagi terasa terbunuh oleh kenyataan ini. Kenyataan yang tak sengaja kau dan aku perbuat. Kenyataan yang seharusnya mungkin tak harus ada jika pada akhirnya kau dan aku  tak lagi saling bertukar suara, bisa dikata tak lagi bicara. Jauh dilubuk hatiku, aku terluka. Hal yang sama pun sudah tentu pasti kau rasa juga. Bagaimana bisa semua ini terjadi, aku dan kau pun tentu tak tahu menahu bagaimana bisa terjadi. Tangan Tuhan sudah pasti dibalik semua ini. Kepahitan hidup yang mendera dalam sebagian langkah yang aku tempuh, yang kau tempuh.

Awalnya semua berjalan baik-baik saja, kau dan aku bersama layaknya seorang teman pada umumnya. Pembicaraan berjalan amat baik, tak pernah ada pertengkaran sedikitpun. Tak sekedar sehari dua hari, seminggu dua minggu, atau sebulan dua bulan. Telah lebih dari dua tahun lamanya hubungan itu berjalan dengan lancar, maksudku pertemanan tanpa ada rasa yang menjadikan sebuah lara. Namun pada suatu ketika, semua itu hancur begitu saja. Hubungan baik yang sedari awal kupikir takkan berakhir, kini lama kelamaan semakin memudar, semakin menjauh bak daun yang jatuh lalu terhempas angin hingga pergi jauh meninggalkan ranting dan pohonnya. Kau dan aku tak lagi bersuara, tak seperti sedia kala.

Tak adil. Aku menghargaimu, bahkan ketika kau nyatakan rasa itu padaku. Aku tak pernah menyangka bahwa akhirnya akan ada sebuah rasa yang kau tanam dalam hatimu. Lantas kenapa semua berbeda setelah kau nyatakan rasa? Kau tentu tahu aku ingin sendiri. Aku katakan bahwa aku belum bisa membalas semua rasa yang ada padamu. Entah sampai kapan aku bisa membalas rasa itu, akupun tak tahu. Bukankah telah kukatakan padamu atas semua yang kurasa, perihal nyaman bagiku hanya sebatas kau dan aku berteman. Lalu kenapa kini kau membenciku? Kau bilang kau tidak pernah menyalahkanku dibalik semua ini. Namun kenyataannya jauh dari semua janji yang sempat kau beri.

Aku hanya tak ingin melukai perasaan siapapun. Lalu salahkah aku jika kenyataanmu tak terbalas? Seharusnya tak perlu kau kenali aku sejak dulu jika pada akhirnya aku terasa mati dalam lingkunganku sendiri.